A. Latar Belakang Masalah
Indonesia
sebagai negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.506 pulau, secara sosial
menghadapi beberapa persoalan. Beberapa pulau yang berbatasan dengan negara
tetangga sangat potensial menimbulkan konflik dan beberapa kali faktanya memang
demikian, terutama menyangkut daerah perbatasan. Terlepas dari batas-batas yang
seringkali menimbulkan konflik antarnegara, permasalahan umum dengan daerah yang
ada di perbatasan adalah, pertama pulau-pulau kecil atau pulau terluar antara
lain berhadapan dengan masalah kepemilikan. Pulau yang terluar yang cenderung
terpencil akan menimbulkan suatu klaim terhadap kepemilikan pulau tersebut. Kedua,
berkaitan dengan physical presence,
yaitu kehadiran fisik dari pemerintah Indonesia. Kehadiran ini terutama dalam
bentuk simbol-simbol fisik, seperti bangunan yang menandakan kepemilikan
Indonesia, kantor-kantor pelayanan, atau aparatur. Ketiga yaitu masalah social,
ekonomi, dan kebudayaan, di mana letak wilayah yang jauh dari pusat
pemerintahan akan menyebabkan keadaan social, ekonomi, dan kebudayaan tidak
terurus. Misalnya saja masalah mata uang, kadangkala terjadi mata uang yang
digunakan pada daerah perbatasan merupakan mata uang negara tetangga dan bukan
mata uang rupiah. Keempat yaitu letak pulau yang jauh sehingga pemeliharaan
terhadap pulau-pulau tersebut sangat kurang. Pemeliharaan tidak hanya
menyangkut persoalan wilayah, tetapi juga para penduduk yang tinggal di wilayah
itu beserta pelayanan birokrasinya.
Dengan
cara yang sama dapat dikatakan bahwa persoalan perbatasan tidak hanya
menyangkut batas-batas fisik dan pembangunan manusia di sana, tetapi bagaimana
interaksi antarmanusia yang notabene berbeda kebudayaan saling bersinggungan,
berkomunikasi, dan berinteraksi. Komunikasi dan interaksi, di satu sisi selain
menghasilkan pertemuan kebudayaan, namun di sisi yang lain seringkali
menimbulkan rasa nasionalisme ‘yang berbeda’ dan saling ‘membandingkan’. Cara
membandingkan ini, terutama jika dikaitkan dengan sejumlah fasilitas antara apa
yang diberikan oleh pemerintah Indonesia dengan negara tetangga yang menjadi
batas teritorial.
Persoalan
keagamaan dan pelayanan agama di daerah perbatasan juga memiliki beberapa
persoalan penting. Pertama, sebagai wilayah yang berbatasan dengan negara
tetangga, daerah perbatasan menjadi rentan terhadap masuknya ideologi-ideologi
asing yang tidak selalu paralel dengan ideologi bangsa dan negara Indonesia. Bahkan
daerah perbatasan disinyalir menjadi lalu-lintas persenjataan oleh teroris
lintas negara. Kedua, pengembangan SDM agama di daerah perbatasan relatif lebih
rendah jika dibanding dengan daerah-daerah lain terutama yang dekat dengan ibu
kota provinsi.[1]
Karena relatif lebih rendah, maka pemerintah melalui Kementerian Agama mencoba
membangun dan mengembangkan pendidikan agama untuk mengejar ketertinggalan
dengan daerah lain.[2]
Ketiga, persoalan physical presence dimana
bagian terbesar daerah perbatasan minim dengan simbol-simbol ini.[3]
Tidak hanya minimalnya fasilitas-fasilitas fisik, tetapi kehadiran aparatur dan
minimnya akses pelayanan public menjadi problem utama kinerja birokrasi.
Itu
sebabnya, penelitian tentang pelayanan yang dilakukan Kementerian Agama untuk
daerah-daerah perbatasan penting dilakukan. Selain dapat menjadi bahan
evaluasi, diharapkan akan mampu mendorong masyarakat perbatasan memperoleh
akses pelayanan keagamaan dengan baik untuk kemajuan pembangunan daerah
perbatasan.
Problem
utama daerah perbatasan Indonesia umumnya merupakan wilayah tertinggal,
terisolasi dari pusat-pusat pertumbuhan dan masih mengandung celah-celah
kerawanan yang mengakibatkan masyarakat di daerah ini umumnya tergolong
masyarakat yang miskin dengan tingkat pendidikan dan kesejahteraan berada pada
kategori rendah. Ketertinggalan daerah perbatasan juga berimplikasi terhadap
pengelolaan sumber daya alam yang dimilikinya menjadi tidak terkontrol, rentan
terhadap penyalahgunaan dan kegiatan illegal baik yang dilakukan oleh
masyarakat Indonesia maupun oleh aktor dari negara lain.
Selain
persoalan keterbelakangan, daerah perbatasan juga dihadapkan pada arus
kebudayaan yang secara langsung berhadapan dengan negara tetangga. Dengan
asumsi ini, masalah pelayanan birokrasi di perbatasan dengan sendirinya
berkisar pada tiga persoalan penting. Pertama, persoalan yang menyangkut
kontestasi akibat globalisasi. Atau setidaknya kontestasi yang diperbandingkan
dengan Negara lain, yang menyangkut misalnya beberapa fasilitas umum, akses
public, dan kemudahan pekerjaan. Kedua, hal-hal yang menyangkut bounded
system, yakni pertemuan antarbudaya. Bounded system ini juga
mempengaruhi kinerja birokrasi yang juga sering diperbandingkan. Misalnya saja
soal pernikahan, adakah terjadi pernikahan antarnegara, tingkat kemudahan
memperoleh akta nikah, hingga biaya nikah yang mungkin lebih mudah dan murah di
negara tetangga, atau justru sebaliknya. Ketiga, menyangkut pelayanan dan
sumber daya birokrasi. Sudah tidak menjadi gejala yang lumrah, bahwa pelayanan
birokrasi di daerah perbatasan relatif lebih tertinggal dibanding daerah lain,
terutama yang letaknya lebih dekat dengan ibukota propinsi. Keempat, persoalan physical presence. Apakah symbol-simbol
Negara hadir di daerah perbatasan, atau justru simbol negara tetanggalah yang
lebih dominan hadir di daerah ini.
Secara
asumtif, negara yang lebih kuat secara ekonomi akan memenangkan ‘pertarungan’
di daerah perbatasan. Dengan kata lain, ekonomi dan kapital menjadi panglima
dalam memenangkan pertarungan ini. Hal ini semakin menegaskan bagaimana
globalisasi adalah kekuatan kapital.[4]
Berbagai
persoalan tersebut di atas berakar dari hilangnya batas-batas territorial
(deterritorialisasi), atau bisa juga disebut dengan borderless, meski sebenarnya batas-batas fisik itu tetap ada. Media
massa dan alat-alat komunikasi yang semakin canggih, menjadi pemicu utama
hilangnya batas-batas itu, dan semakin mudahnya akses-akses transportasi juga
menjadi pemicu pula. Persoalan-persoalan inilah yang akan dikembangkan dalam
riset, khususnya yang menyangkut pelayanan keagamaan. Dengan cara yang sama,
problem riset difokuskan pada pelayanan Kantor Kementerian Agama di daerah
perbatasan.
[1]“Kemenag Nunukan Minta
Madrasah Negeri di Daerah Perbatasan”, Tribunnews.com, diunduh Minggu,
5 Januari 2014 15:45 WIB
[2]“Pemerintah Kembangkan
Pesantren Perbatasan”, Republika On Line, http://www.republika.co.id diunduh, 24
Desember 2013, 15:02 WIB
[3]“Menteri Agama Bakal Hadiri Peletakan Batu
Pertama”, Hakluankepri.com, http://www.haluankepri.comSabtu, 14 December 2013 00:00
[4]"Kami punya
slogan di sini, garuda di dadaku, Malaysia di perutku," pungkas
Hermansyah, sindonews.com, 6 Januari 2014, diunduh 8 Januari 2014 dalam “Elpiji Malaysia Laris Manis di Tarakan”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar