Hari Pertama, Kamis 20 Maret 2014
Memulai perjalanan menuju Nunukan.
Meski menggunakan Lion tanpa service makanan, tapi tetap semangan soalnya
jadwal on time. Take off 04,45 WIB, landing Tarakan 09.00 WITA
Dari Tarakan naik
speed boat sekitar 2,5 jam. Tetap dinikmati karena ternyata di dalamnya ruangan
Ber AC dan bisa tidur.
Cuaca Nunukan ketika speed boat merapat sangat panas.
Dengan menggunakan angkot (disini disebutnya taxi) kami langsung menuju Hotel Laura
sesuai dengan arahan Kepala Kankemenag.
Ketika memasuki Nunukan, kondisi kota Nunukan jauh lebih
baik dari yang saya bayangkan. Jalan-jalan cukup mulus, ada beberapa hotel
setingkat hotel Melati, bank, ATM, serta bangunan rumah ibadat, khususnya masjid
dan gereja mudah ditemui. Demikian juga supermaket kecil, serta rumah-rumah
makan tidak terlalu sulit. Kondisi kamar
hotel Laura cukup memadai. Selain fasilitas standar, ada juga kulkas kecil.
Cuma sayang kondisi listrik sering kali hidup mati sehigga mengurangi
kenyamanan.
Kondisi kamar Laura Hotel cukup memadai. Selain fasilitas
standar, ada juga kulkas kecil. Cuma sayang kondisi listrik sering kali hidup
mati sehigga mengurangi kenyamanan.
Kondisi kamar hotel Laura cukup memadai. Selain
fasilitas standar, ada juga kulkas kecil. Cuma sayang kondisi listrik sering kali hidup mati
sehigga mengurangi kenyamanan.
Hari Kedua, 21 Maret 2014
Di samping gedung Kantor Kementerian Agama, terdapat sederatan rumah yang bagus dan permanen dengan bentuk yang seragam, namun tidak terlihat penghuninya. Kompleks itu adalah rumah dinas untuk para anggota Dewan, namun1. mereka tidak menempati karena lebih suka menemati rumah sendiri yang statunya disewa.
Terkait dengan data keagamaan yang kami butuhkan,
Kepala Kankemenag memberi kami
masing-masig 1 exp buku Profil dan Data Kemenag Kabupaten Nunukan 2013. Sedikit membantu kami buku
tersebut. Namun demikian ada data yang
sangat kami perlukan tapi belum tercantum dalam buku tersebut yaitu jumlah penduduk berdasarkan agama ker
kecamatan. Data yang ada baru sebatas
jumlah penduduk berdasarkan wilayah KUA. Padahal di Kabupaten Nunukanini belum semua kecamatan
memiliki KUA. Dari 13 kecamatan, baru ada 7 KUA. Dengan demikian masih ada satu
KUA yang wilayah kerjanya meliputi dua atau tiga KUA.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bu Rina, diketahui
bahwa pelayanan untuk umat Kristen belum maksimal. Misalnya, Penyelenggara
Kristen belum punya data tentang berapa jumlah induk organisasi gerja yag
terdaftar. Menurut Bu Rina ada sekitar
27 induk organisasi kriten. Namun
demikian, tidak ada data yang pasti. Tidak ada mekanisme yang ketat yang
mengharuskan setiap induk organisasi
gereja mendaftar di Kementerian Agama. Menurut Bu Rina, salah satu hal yang
terjadi adalah karena masyarakat
tidak/belum memahami tentang eksistensi Kementerian Agama. Dalam hal penyebutan
nomenklatur saja misalnya, belum banyak tahu bahwa sekarang sudah berubah
menjadi KementerianAgama. Umat masih enyebut Departemen Agama.
Pengumpulan Data di
Kankemenag:
Sesuai perjajian, pagi
jam 08.00 WITA dijemput Kepala Kankemenag H.M. Shaberah, S.Ag. MM dan langsung
menuju Kantor Kemenag Nunukan. Jarak antara Laura Hotel dengan Kantor Kemenag
sekitar 15 km dan ditempuh dalam waktu yang cukup singkat sekitar 15 menit karena
kondisi jalan lancar dan cukup mulus kecuali beberapa bagian jalan yang sedang diperbaiki. Selama perjalanan, ada
beberapa hal yang menarik untuk dicermati antara lain:
- Pemandangan di dua pom bensin yaitu antrean motor dan mobil untuk membeli bahan bakar. Menurut Pak Kepala Kankemenag, antrian seperti itu menjadi hal biasa karena pasokan BBM seringkali tidak mencukupi. Jaikapun ada harganya menjadi sangat mahal yaitu premium mencapai Rp. 8.500/liter untuk premium, dan pertamax Rp. 12.000/liter... masih menurut Kepala Kankemenag, kondisi BBM disini sangat jauh berbeda dengan di Malaysia (Tawau) yang tidak pernah kekurangan BBM. Karena itu sebagian masyarakat Nunukan atau yang di Sebatik membeli BBM ke Tawau dan dibawa dengan jerigen.
- Kantor-Kantor Dinas terkonsentrasi di dua tempat, sehingga ada ada satu tempat yang di depannya terpampang tulisan besar: Gabungan Kantor-Kantor Dinas. Masyarakat menyebutnya Gadis 1, dan Gadis 2.
Di samping gedung Kantor Kementerian Agama, terdapat sederatan rumah yang bagus dan permanen dengan bentuk yang seragam, namun tidak terlihat penghuninya. Kompleks itu adalah rumah dinas untuk para anggota Dewan, namun1. mereka tidak menempati karena lebih suka menemati rumah sendiri yang statunya disewa.
Setelah menyampaikan
tujuan kedatangan kepada Kepala Kemenag, kami kemudian berbagi tugas. Saya
mencari data bidang Agama Kristen dan Katolik, Bu Wahidah dan Lastri mencari
data ke Kasi Bimas Islam, dan Bu Sri
Hidayati mencari data ke Kasi Bimas Islam. Sebelum berpencar sesuai
pembagian tersebut, kami (peneliti
dengan Kepala Kankemenag) mendiskusik dan merencanakan pelaksanaan FGD.
Akhirnya diputuskan bahwa FGD akan
dilaksanakan hari Kamis tanggal 27 Maret 2014 pukul
09.00 dan pukul 13.30.
Suasana Kantor Kemenag
pagi itu tidak terlalu ramai. Tidak
terlihat orang lalu lalang untuk minta pelayanan. Para pegawai Kemenag sendiri
duduk di kursinya masing-masing. Tidak
terlihat lalu lalang masyarakat yang minta dilayani secara langsung. Nanum demikian, kami cukup beruntung karena
datang tepat pada waktunya. Hari ini seluruh pejabat (Islam) Kemenag baru masuk kantor setelah mengikuti MTQ
tingkat Kabupaten Nunukan di Kecamatan
Sebuku yang berlangsung tanggal 15
sampai 20 Maret 2014.
Pengumpulan Data di Penyelenggara Kristen:
Pukul 10 kami menyebar di 3 tempat (tiga fokus kajian)
yaitu Pelayanan Kristen (Kustini), Pelayanan Haji (Sri Hidayati) dan pelayanan
Bimas Islam (Wahidah dan
Lastriyah). Untuk pelayanan umat
Kristen saya menemui Ibu Marjusrina J, S. PAK. (biasa dipanggil Bu Rina). Di
ruang kerja Bu Rina, ada satu kursi Bu Rina dan 2 kursi staf. Namun demikian,
Bu Rina tidak memiliki staf dan saat itu yang ada di kursi staf adalah Pak
David, penyuluh agama Katolik. Menurut Bu Rina, karena tidak ada staf, mancarka
kadang-kadang P David diminta bantuannya untuk
seolah-olah menjadi staf Bu Rina. Hal itu terlihat ketika saya meminta
beavid untuk mencarikan. Ruang kerja Bu
Rina lumayan nyaman untuk berbincang karena ada fasilitas AC.
Tentang eksistensi Kemenag, di mata umat Kristen, Bu Rina
menyatakan: ”Mereka menyangka bahwa tugas
Kementerian Agama itu hanya terkait dengan: nikah, haji, dan doa. Karena itulah
mereka tidak paham harus mendaftar dsb. Untuk
tertib administrasi, kami telah membuat chek list yang dikirimkan ke
gereja-gereja. Chek list itu berisi daftar syarat adminsitratif yang harus
dipenuhi jika sebuah gereja ingin mendaftarkan ke Kemenag”.
Sampai saat ini
induk gereja yang secara administratif sudah terdaftar di Kantor Kementerian
Agama ada 19 gereja sebagaimana terlampir. Sebagian besar gereja itu mengajukan
surat keterangan terdaftar dengan tujuan
untuk memenuhi salah satu syarat
memperoleh bantuan dari Pemerindah Daerah Kabupaten Nunukan (bagian Kesra).
Sebagian kecil memang mendaftarkan
sebagai respon atas chek list yang disampaikan Kemenag melalui Penyelenggara Kristen.
Konsentrasi umat Kristen, menurut Bu Rina, terletak di Kecamatan
Krayan. Meski umat Kristen dilihat dari jumlah lebih banyak di Nunukan, tetapi
dilihat dari persentase penduduk per kecamatan, di Krayan merupakan
mayoritas. Namun untuk mencapai Krayan aksesnya tidaklah mudah.
Harus menggunakan pesawat dengan harga tiket lebih dari 1 juta rupiah. Ketika
saya tanyakan, apakah gereja di Krayan sudah pernah mendapat bantuan dari
Kementerian Agama, Bu Rina menjawab: ”Mereka
(pimpinan) gereja enggan untuk mengajukan bantuan. Jika jumlah bantuan hanya
berkisar 10 atau belasan juta tidak terasa dampaknya soalnya biaya transport
saja bisa mencapai beberapa juta” Dari 27 gereja induk yang ada, yang mayoitas adalah
Gereja Kemah Injili. Meski demikian, gereeja ini tidak masuk dalam daftar 19
gereja induk yang minta surat keterangan
ke Kementerian Agama. Sementara itu, lembaga keagamaan Kristen ada empat
yaitu: BAMAG, PGI, PGPI, LPPD, dan PII.
Diantara 5 lembaa itu, PGI merupakan lembaga
yang paling banyak pengikutnya.
Terkait dengan pengaturan organisasi gereja, Bu Rina
menyampaikan bahwa saat ini tidak ada lagi pendaftaran organisasi induk gereja.
Hal itu, menurut beliau, sesuai dengan Surat Edaran Dirjen Bimas Kristen tahu
2007 yang enyatakan tidak ada lagi pendaftaran organisasi gereja. Namun ketika peneliti meminta Bu Rina untuk
menunjukkan copy Srat Edaran itu, Bu Rina tidak bisa memenuhi. Tapi ia yakin
bahwa Surat Edaran itu pernah ada.
Selama wawancara dan pengamatan di Penyelenggaran Kristen
yang berlangsung mulai pukul 10.00 sampai pukul 14.30 WITA, tidak banyak
terliha lalu lalang masyarakat yang meminta pelayanan kepada Penyelenggara
Kristen. Hanya ada dua orang yang datang yaitu dariu unsur guru untuk mengurus
administrasi sertifikasi guru.
Di ruang kerja Penyelenggara Kristen saat itu ada
seorang pegawai sedang membuka-buka berkas. Pada awalnya saya menyangka dia
adalah staf Bu Rina. Tetapi setelah berbincan diketahui bahwa dia adalah Pak
David Valentino, penyuluh agama Katolik satu-satunya di Kabupaten Nunukan.
Dengan demikian diketahui bahwa sampai saat ini
pelayanan terhada umat Katolik di Nunukan baru dilakukan oleh penyuluh
yang tentu memiliki kewenangan yang sanga terbatas. Karena itu
Pak David menitipkan pesan kepada peneliti untuk disampaikan ke Pimpinan
Kemenag di Pusat agar disediakan pejabat setidaknya setingkat penyelenggara
untuk melayani umat Katolik.
Terkait dengan keberadaan penyuluh agama, Bu Rina
menyampaikan keluhannya bahwa di Kabupaten Nunukan belum ada penyuluh agama
yang berstatus PNS. Yang ada sekarang adalah penyuluh agama honorer yang
jumlahnya semakin menurun, sebagai berikut:
Tahun 2011 berjumlah 50 orang PAH Kristen,
Tahun 2012 berjumlah
40 orang
Tahun 2013 berjumlah
25 orang,
Tahun 2014 berjumlah 13 orang.
Penentuan jumlah penyuluh agama tersebut berdasarkan SK
Dirjen Bimas Kristen. Kemudian Kakanwil mengirim surat ke Kankemenag untuk meminta usulan nama-nama, kemudian Kanwil
Kemenag membuatkan SK pengangkatan PAH sesuai dengan nama yang dikirim serta
alokasi anggaran yang tersedia. Sore
hari kami keluar hotel ke arah sebelah kiri menuju alun-alun, cukup dengan
berjalan kaki karena jaraknya dekat serta sekaligus melihat-lihat suasana
Nunukan di sore hari. Meski siang cuaca
sangat panas, tetapi sore hari lebih
sejuk apalagi sore tadi hujan turun meski tidak deras. Di alun-alun kami
menemukan beberapa bangunan fisik yang cukup relevan untuk penelitian ini yaitu
Gedung Perpustakaan Daerah, yaitu tugu dwikora, Hotel New Fortuna, dan Hotel Marvel.
Menjelang waktunya sholat
magrib, kami berjalan ke arah sebelah timur menuju Masjid Agung Al Mujahidin
untuk pengaatan sekaligus ikut berjamaan. Bangunan masjid cukup luas dengan
interor yang relatif bagus. Jamaah sholat magrib saat itu tidak terlau
banyak bahkan cenderung sedikit jika dibandingkan dengan luas masjid. Untuk shaf
laki-laki hanya ada dua shaf di depan. Sementara untuk tempat jamaah perempuan
hanya ada sekitar belasan orang yang didominasi jamaah sepuh.
Hari Kelima, Senin 24 Maret 014
Kami
sarapan lebih pagi dari biasanya karena mau ke Pulau Sebatik. Setelah
menyelesaikan administrasi pembayaran hotel kami diantar Bu Laila ke pelabuhan
Sei Jepun. Perjalanan munuju Pulau Sebatik ditempuh melalui laut dengan perahu
kecil selama sekitar 15 menit saja. Memang tidak lama, tapi karena yang kami
tumpangi adalah perahu kecil, maka ombak danmiring kiri miring kanan menjadi
sangat mengerikan. Perahu yang kami tumpangi hanya muat untuk sekitar 10 orang
dewasa. Biasanya kalau sudah ada
penumpang 5 orang saja perahu bisa diberangkatkan.
Turun
dari perahu kami sudah ditunggu oleh supir langganan orang Kemenag dengan mobil
carterannya. Meski jara dari pelabuhan ke Kota Sebatik cukup jauh yaitu skitar
50 km, tetapi angkutan umum relatif susah. Lebih murah kalau berangkat beberapa
orang bisa menyewa mobil dengan biaya Rp. 250.000 sekali jalan. Waktuitu saya
peneliti berempat dan 3 orang pegawai Kemenag yang kebetulan mau berdinas di
Sebatik yaiu Ibu Rina (Pengelenggara Kristen), Ibu noor Laela dn satu orang
staf. Jumlah itu pas untuk mobil yang
kami sewa yaitu sebuah Avanza. Kalau tidak menyewa mobil maka masyarakat dapat
menggunakan mobill sewaan yang diguakan bersama-sama dengan ongkos
Rp.50.000/orang.
Perjalanan
dari pelabuhan menuju Sebatik ditempuh dalam waktu tidak kurang dari 1,5 jam.
Meski jarak tidak terlalu jauh, tapi jalan kecil berliku, di beberapa bagian
terdapat jalan berlubang membuat jarak sependek itu ditempuh dalam waktu yang
relatif lama. Sepanjang jalan kami melihat pemukiman penduduk yang relatif
ramai, rumah-rumah yang untuk ukuran di perkampungan tidak terlalu jelek.
Sebagian rumah itu masih merupakan rumah adat berpanggung tinggi sekitar 2
meter terbuat dari kayu. Sebagian rumah lainnya merupakan rumah permanen.
Pemandangan
sedikit berbeda dengan di Nunukan adalah ketika melewati sebuah SPBU. Jika SPBU
di Nunukan biasanya dipenuhi oleh para pembeli yang mengantri sampai
beratus-ratus meter, atau SPBU tertutup pagarnya karena bahan bakar habis, di
Sebatik sepertinya normal-normal saja. Sepanjang jalan itu kami hanya menemui
satu SPBU yang dilengkapi dengan musholla, toilet. Supir kami segera membelokka mobilnya menuju tempat
pengisian dan mengisi tangki sampai full.
Kami
menuju penginapan Queen. Meski tidak terlalu bagus (hotel melati harga 250
ribuan), lumayan lah, ada AC, kamar besar. Tapi sayang harus naik tangga yang
cukup tinggi meski hanya di lantai 2. Air di bak kamar mandi juga kotor. Waktu
itu belum ada kamar yang siap sehingga kami hanya menaruh tas di resepsionis.
Setelah itu kami kembali ke sekolah milik yayasan...... Yayasan ini mengelola
Madrasah Tsanawiyah denggan murid berjumlah 270 orang, dan Madrasah Aliyah
dengan mrid berjumlah 170 orang.
Waktu
itu suasana di sekitar madrasah sedang panas terik karena tengah hari menjelang
waktu dzuhur. Bu Noor Laela selalu Kasi Mapenda di Kankemenag yang sekaligus
menemani kemi selama perjalanan menju Sebatik berbincang-bincang degan para
guru dan memberikan beberpa arahan. Sementara kami peneliti di kursi tamu
wawancara dengan pengelola Yayasan.
Pengelola
Yayasan yaitu Pak Suniman Latasi berasal dari Sulawesi Tengah tepatnya dari
Palu, suku Kaili. Ia mengaku datang ke Sebatik tahun 1989 dengan hanya membawa
10 jari (tangan kosong). Ia merupakan aktivis Al Khoirot dan datang ke
Sebatikpun atas tugas dari Al Khoirot untuk berdakwah. Kemudian dia berdakwah,
sempat jadi pembantu penghulu di Sebatik...
Banyak
suka duka menjadi pimpinan yayasan yang mengelola madrasah. Hal positif adalah
ia merasa bangga madrasahnya telah menjadi sekolah pavorit di Sebatik. Ia juga
menyebutkan bantuan dari Kemenag melalui dana BOS yang sangat bermanfaat. Namun
ia menyesalkan bahwa pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Nunukan belum pernah
memberikan bantuan. ”Sekolah swasta
adalah anak keponakan. Kalau sekolah negeri anak kandung”. Begitulan
menurut Pak Sulaeman sikap atau pernyataan pejabat di Pemerintah Daerah yang
menunjukkan keengganannya untuk membantu sekolah Swasta.
Mengapa
madrasah ini tida diarahkan untuk menjadi sekolah negeri? Pak Suniman Latas
mengatakan bahwa memang ia tidak terlalu berharap untuk menjadi negeri, sebab
kalau madrasah negeri maka guru-gurunya pun harus Pegawai Negeri. Ia tidak sampai hati untuk menggantikan
guru-guru di sini dengan guru negeri sebab sebagian besar guru adalah lulusan
dari madrasah ini. Untuk guru yang sudah memenuhi syarat masa pengambidan
minimal 5tahun, mereka mendapatkan insntif daerah perbatasan sebesar
Rp.1.300.000/bulan.
Pak
Suniman juga menceritakan pengalamannya ketika menjadi Pegawai Pembantu
Pencatat Nikah (P3) selama 30 tahun. Ia
menceriterakan bahwa masyarakat disini kebanyakan berasal dari suku Bugis.
Hanya sedikit saja yang penduduk asli Pulau Sebatik yaitu Suku Tidung.
Salah
satu adat di masyarakat Sebatik adalah memberikan mahar dalam bentuk tanah yang
disebut ”sompah”. Waktu itu tanah disini memang masih sangat luas. Tapi saya
(P3N) menolak jika ada yang menikah dengan menggunakan mahar itu karena hasill
tanah nanti bisa termakan oleh suami. Sementara mahar seharusnya murni miliki
istri. Karena itu saya tetap mengharuskan ada mahar baik uang maupun barang
lainnya. Sedangkan sompah merupakan pemberian yang tidak ada kaitannya dengan
mahar.
Hal
lain yang banyak terjadi adalah masyarakat banyak yang mau menikahkan dalam
waktu yang terburu-buru padahal persyaratan administrasi belum terpenuhi.
Misalnya ia datang ke saya dan bilang mau menikah minggu depan. Ketika
diperiksa persyaratan belum lengkap, saya minta acara pernikahan ditunda. Tapi
undangan ternyata sudah menyebar sehingga tidak mungkin pernikahan diundur.
Disitulah saya menjadi dilema. Dalam kondisiseperti itu sayaberijtihad saja,
kembali kepada ajaran Islam. Harus menikahkan mereka dengan cara Islam.
Persoalan
nikah siri menjadi hal yang biasa ditemui. dari kampungnya di Sulsel mereka
tidak bawa surat nikah atau memang tidak punya surat nikah. Karena itu anak
sulit untuk dapat akta kelahiran. Banyak juga yang menikah di Malaysia, karena
tidak ada petugas pencatat nikah ya mereka menikah sirri..
Biaya
nikah kira-kira: P3N Rp. 150.000,- KUA: Rp. 150.000. Mengurus surat di Desa Rp.
200.000,- Suscatin belum banyak dilaksanakan, masih terkendala.
Masyarakat
Sebatik bisa berbelanja menggunakan RM atau Rp, RM tidak bisa dihapus dari
pasar karena yang membangun Seatik adalah orang Malaysia. Hampir 80 % kebutuhan
masyarakat Sebatik dipenuhi dari Malaysia. Bagi masyarkat sebatik, berbelanja
ke Tawau jauh lebih mudah dan menyingkat waktu dibanding harus ke Nunukan. Untuk
ke Nunukan perlu melewati jalan dart sekita 50 km yang ditempuh dalam waktu 2
jam. Kemudian naik perahu kecil selama 15 menit. Sementara untuk ke Tawau bisa
dengan kapal atau perahu kecil selama 15 menit. Harga barang-barang di Tawau
juga jauh lebih murah dari Nunukan, sebab pedagang di Nunukan pun sebagian
besar belanja di Tawau.
Sore
hari setelah sholat ashar, guide kami yang juga merangkap supir Pak Rustam mengantarkan
kami menuju perbatasan Sebatik dan Malaysia. Sampailah kami di rumah penduduk
yang seringkali disebut: Ruang tamu di
Indonesia, dapur di Malaysia. Rumah itu adalah rumah milik orang Bugis yang
sudah berpuluh-puluh tahun hidup di Sebatik. Di depan rumahnya terdapat sebuah
pos jaga lengkap dengan bendera di atas tidang yang selalu berkibar. Di ujung
bawah tiang bendera ada tugu kecil bertuliskan; ”Kokohkan Merah Putih Tapal Batas, Sebatik 17 Agustus 2009”.
Prasasti itu ditandatngani oleh Tokoh Masyarakat H. Herman Nil dan Danramil
0911 Sebatik AM Sudirman”.
Beberapa
meter dari prasasti itu ada sebuah batu (disebutnya patok) yang juga menjadi
penanda perbatasan Indonesia Malaysia.
Jika orang berdiri d atas batu itu dan merentangkan kanannya, maka separuh
badan dan tangan sebelah kanan ada di wilayah Malaysia, dan separuh badan
sebelah kiri beserta rentangan tangan
kiri ada di wilayah Malaysia. Namun demikian satu deretan rumah sebelah
patok yang sebetulnyasudah masuk wilayah Malasysiamasih didiami oleh oag
Indonesia. Ketika saya tanya yang punya rumah apakah ia bangsa Indonesi atau
Malaysia, ia menjawab ”Saya orang Indonesia”
Monumen
lain yang menunjukkan bahwa wilayah ini merupakan perbatasan juga dapat dilihat
pada monumen yang bertuliskan: ”Tugu
Perbatasan Garuda Perkasa”. Bagian bawahnya merupakan tugu prasasti,
sementara di atasnya burung garuda bertuliskan: NKRI Harga Mati. Di bawah kaki
burung garuda itu ada cat berwarna merah putih seolah bendera yang
sedang berkibar. Tugu itu terletak di pinggir jalan agak ke atas. Pemandangan dari
tugu itu sangat indah, laut di seberang jalan, kemudian terlihat dengan jelas
Pulau Sebatik.
Sembari
pulang, kami menyempatkan diri untuk berhenti di beberapa tempat antara lain Masjid
Nurul Huda. Di samping masjid digunakan untuk Taman Pendidikan Al Qur’an.
Beberapa tukang terlihat sedang mengerjakan bagian-bagian masjid yang belum
selesai. Memang masjid ini masih dalam tahap pembangunan finishing. Meski
bangunan masjid ini tidak sebesar Masjid Agung Al Ijtihad di Nunukan, tetapi
interior di dalam masjid terlihat indah seperti masjid-masjid di kota-kota
besar. Menurut guide kami, masjid tersebut dipersiapkan untuk menjadi masjid
agung senadainya Sebatik sudah dissahkan sebagai sebuah kota.
Ssebelum
pulang, kami mampir di Sekolah Mutiara Bangsa, sebuah lembaga pendidikan yang
terdiri dari sekolah tingkat SMP dan SMK jurusan komputer. Pimpinan Yuyasan adalah Bapak Abu Ubaidillah
yang pernah menjabat sebagai Kepala Kantor Kementeria Agama Kabupaten Nunukan. Sekolah
tersebut dilaksanakan dengan sistem boarding school. Pagi-pagi anak sekolah di
sekolah umum, dan siang setelah pukul 14 mengaji layaknya di pesantren.
Malam
hari sebelum masuk hotal, kami mampir di sebuah supermarket miliki Bapak Herman
Nil seorang penguaha keturunan Bugis. Di supemarket itu kami melihat bahwa ada
pembeli yang menggunakan uang ringgit, ada juga yang menggunakan uang rupiah. Bisa
juga belanja dengan uang ringgit dan kembalian dengan uang rupiah dan
sebaliknya. Sebagian besar barang-barang di supermarket ini berasal dari Malaysia
tepatnya dari Tawau. Hal itu dapat dimengerti sebab ke Tawau jauh lebih mudah
dan cepat ketimbang ke Nunukan. Meski Tawau bagian dari Malayisa (negara
tetangga), tetapi masyarakatSebatik dapat menggunakan berbagai jalan untuk ke
Tawautanpa melalui pemeriksan yang ketat. Jalan tidak resmi (jalan tikus)
membentang begitu banyak, dan sulit untuk diawasi. Seorang informan
menyebutnya: bukan lagi jalan tikus yang
kecil dan tersembunyi, tetapi disebut juga jalan gajah karena banyaknya
kesempatan untuk melalui jalan ini meski ellehal”.
Pemenuhan
kebutuhan masyarakat Sebatik dengan berbelanja di Tawau, terlihat ketika
peneliti mengamati perkampungan masyarakat yang sebetulnya termasuk
wilayah Nusantara, tetapi ditempati oleh
masyarakat Indonesia. Rumah-rumah itu berjejer menghadap ke jalan raya
kecamatan. Di belakang rumah itu melintas sebuah sungai yang terhubung ke laut
wilayah Malaysia. Sore itu sekitar pukul 17 ketika peneliti berjalan-jalalan
menyusuri perkampungan dan sungai, terlihat
sebuah kapal kecil yang jika ditumpangi penumpang hanya muat sekitar 10 –
14 orang. Kapal tersebut ketika menepi di
belakang rumah, langsung menurutnkan berdus-dus barang belanjaan. Dari gambar
di luar dus terlihat belanjaan itu adalah gula, minyak, biskuit serta
tabung-tabung gas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar