DISAIN PENELITIAN

DESAIN OPERASIONAL
PENELITIAN PELAYANAN KEAGAMAAN
BAGI MASYARAKAT PERBATASAN
T.A. 2014
A.  Latar Belakang Masalah
Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.506 pulau, secara sosial menghadapi beberapa persoalan. Beberapa pulau yang berbatasan dengan negara tetangga sangat potensial menimbulkan konflik dan beberapa kali faktanya memang demikian, terutama menyangkut daerah perbatasan. Terlepas dari batas-batas yang seringkali menimbulkan konflik antarnegara, permasalahan umum dengan daerah yang ada di perbatasan adalah, pertama pulau-pulau kecil atau pulau terluar antara lain berhadapan dengan masalah kepemilikan. Pulau yang terluar yang cenderung terpencil akan menimbulkan suatu klaim terhadap kepemilikan pulau tersebut. Kedua, berkaitan dengan physical presence, yaitu kehadiran fisik dari pemerintah Indonesia. Kehadiran ini terutama dalam bentuk simbol-simbol fisik, seperti bangunan yang menandakan kepemilikan Indonesia, kantor-kantor pelayanan, atau aparatur. Ketiga yaitu masalah social, ekonomi, dan kebudayaan, di mana letak wilayah yang jauh dari pusat pemerintahan akan menyebabkan keadaan social, ekonomi, dan kebudayaan tidak terurus. Misalnya saja masalah mata uang, kadangkala terjadi mata uang yang digunakan pada daerah perbatasan merupakan mata uang negara tetangga dan bukan mata uang rupiah. Keempat yaitu letak pulau yang jauh sehingga pemeliharaan terhadap pulau-pulau tersebut sangat kurang. Pemeliharaan tidak hanya menyangkut persoalan wilayah, tetapi juga para penduduk yang tinggal di wilayah itu beserta pelayanan birokrasinya.
Dengan cara yang sama dapat dikatakan bahwa persoalan perbatasan tidak hanya menyangkut batas-batas fisik dan pembangunan manusia di sana, tetapi bagaimana interaksi antarmanusia yang notabene berbeda kebudayaan saling bersinggungan, berkomunikasi, dan berinteraksi. Komunikasi dan interaksi, di satu sisi selain menghasilkan pertemuan kebudayaan, namun di sisi yang lain seringkali menimbulkan rasa nasionalisme ‘yang berbeda’ dan saling ‘membandingkan’. Cara membandingkan ini, terutama jika dikaitkan dengan sejumlah fasilitas antara apa yang diberikan oleh pemerintah Indonesia dengan negara tetangga yang menjadi batas teritorial.
Persoalan keagamaan dan pelayanan agama di daerah perbatasan juga memiliki beberapa persoalan penting. Pertama, sebagai wilayah yang berbatasan dengan negara tetangga, daerah perbatasan menjadi rentan terhadap masuknya ideologi-ideologi asing yang tidak selalu paralel dengan ideologi bangsa dan negara Indonesia. Bahkan daerah perbatasan disinyalir menjadi lalu-lintas persenjataan oleh teroris lintas negara. Kedua, pengembangan SDM agama di daerah perbatasan relatif lebih rendah jika dibanding dengan daerah-daerah lain terutama yang dekat dengan ibu kota provinsi.[1] Karena relatif lebih rendah, maka pemerintah melalui Kementerian Agama mencoba membangun dan mengembangkan pendidikan agama untuk mengejar ketertinggalan dengan daerah lain.[2] Ketiga, persoalan physical presence dimana bagian terbesar daerah perbatasan minim dengan simbol-simbol ini.[3] Tidak hanya minimalnya fasilitas-fasilitas fisik, tetapi kehadiran aparatur dan minimnya akses pelayanan public menjadi problem utama kinerja birokrasi.
Itu sebabnya, penelitian tentang pelayanan yang dilakukan Kementerian Agama untuk daerah-daerah perbatasan penting dilakukan. Selain dapat menjadi bahan evaluasi, diharapkan akan mampu mendorong masyarakat perbatasan memperoleh akses pelayanan keagamaan dengan baik untuk kemajuan pembangunan daerah perbatasan.
Problem utama daerah perbatasan Indonesia umumnya merupakan wilayah tertinggal, terisolasi dari pusat-pusat pertumbuhan dan masih mengandung celah-celah kerawanan yang mengakibatkan masyarakat di daerah ini umumnya tergolong masyarakat yang miskin dengan tingkat pendidikan dan kesejahteraan berada pada kategori rendah. Ketertinggalan daerah perbatasan juga berimplikasi terhadap pengelolaan sumber daya alam yang dimilikinya menjadi tidak terkontrol, rentan terhadap penyalahgunaan dan kegiatan illegal baik yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia maupun oleh aktor dari negara lain.
Selain persoalan keterbelakangan, daerah perbatasan juga dihadapkan pada arus kebudayaan yang secara langsung berhadapan dengan negara tetangga. Dengan asumsi ini, masalah pelayanan birokrasi di perbatasan dengan sendirinya berkisar pada tiga persoalan penting. Pertama, persoalan yang menyangkut kontestasi akibat globalisasi. Atau setidaknya kontestasi yang diperbandingkan dengan Negara lain, yang menyangkut misalnya beberapa fasilitas umum, akses public, dan kemudahan pekerjaan. Kedua, hal-hal yang menyangkut bounded system, yakni pertemuan antarbudaya. Bounded system ini juga mempengaruhi kinerja birokrasi yang juga sering diperbandingkan. Misalnya saja soal pernikahan, adakah terjadi pernikahan antarnegara, tingkat kemudahan memperoleh akta nikah, hingga biaya nikah yang mungkin lebih mudah dan murah di negara tetangga, atau justru sebaliknya. Ketiga, menyangkut pelayanan dan sumber daya birokrasi. Sudah tidak menjadi gejala yang lumrah, bahwa pelayanan birokrasi di daerah perbatasan relatif lebih tertinggal dibanding daerah lain, terutama yang letaknya lebih dekat dengan ibukota propinsi. Keempat, persoalan physical presence. Apakah symbol-simbol Negara hadir di daerah perbatasan, atau justru simbol negara tetanggalah yang lebih dominan hadir di daerah ini.
Secara asumtif, negara yang lebih kuat secara ekonomi akan memenangkan ‘pertarungan’ di daerah perbatasan. Dengan kata lain, ekonomi dan kapital menjadi panglima dalam memenangkan pertarungan ini. Hal ini semakin menegaskan bagaimana globalisasi adalah kekuatan kapital.[4]
Berbagai persoalan tersebut di atas berakar dari hilangnya batas-batas territorial (deterritorialisasi), atau bisa juga disebut dengan borderless, meski sebenarnya batas-batas fisik itu tetap ada. Media massa dan alat-alat komunikasi yang semakin canggih, menjadi pemicu utama hilangnya batas-batas itu, dan semakin mudahnya akses-akses transportasi juga menjadi pemicu pula. Persoalan-persoalan inilah yang akan dikembangkan dalam riset, khususnya yang menyangkut pelayanan keagamaan. Dengan cara yang sama, problem riset difokuskan pada pelayanan Kantor Kementerian Agama di daerah perbatasan.

B.  Rumuasan Masalah
1.      Bagaimana gambaran teraktual tentang pelayanan keagamaan di daerah perbatasan, problem apa saja yang dialami dan bagaimana kebudayaan negara tetangga berpengaruh terhadap pelayanan yang ada di Indonesia?
2.      Kebijakan, program, dan pembangunan fisik apa saja yang dilakukan secara spesifik oleh Kementerian Agama bagi pengembangan daerah perbatasan?
3.      Sejauhmana kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan keagamaan yang ideal di daerah perbatasan?



C.  Tujuan Penelitian
1.      Menemukan problem-problem faktual tentang pelayanan keagamaan, problem apa saja yang dialami terutama yang diberikan oleh Kementerian Agama di daerah perbatasan, dan bagaimana kebudayaan negara tetangga berpengaruh terhadap pelayanan yang ada di Indonesia
2.      Untuk mengetahui kebijakan, program, dan pembangunan fisik apa saja yang dilakukan secara spesifik oleh Kementerian Agama bagi pengembangan daerah perbatasan.
3.      Untuk melakukan identifikasi pelayanan keagamaan apa saja yang dilakukan serta pelayanan yang mungkin bisa dikembangkan oleh Kementerian Agama dalam rangka pembangunan daerah perbatasan.

D.  Kerangka Teoritik
Di awal abad ke 21 ini, hampir tak satu pun masyarakat sepenuhnya terbebas dari globalisasi. Kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi, khususnya di bidang transportasi dan komunikasi, telah menempatkan globalisasi sebagai kekuatan budaya yang memiliki pengaruh sangat kuat dalam kehidupan manusia. Ruang komunikasi antar-budaya masyarakat di seluruh dunia menjadi terbuka luas, di mana berbagai unsur kebudayaan dipertukarkan dan didistribusikan yang kemudian mendorong terbentuknya pluralitas budaya.S emangat yang mendasari terjadinya globalisasi itu salah satunya adalah ekspansi kepentingan ekonomi kapitalis. Menurut Morley dan Robins (1995), ekonomi kapitalis merupakan sebuah proses organisasi produksi dan eksploitasi pasar dalam skala dunia. Melalui kepentingan ini, batasan-batasan regional ataupun nasional diintegrasikan dalam wilayah multinasional untuk mendukung beroperasinya perusahaan-perusahaan transnasional yang dapat memenuhi konsumsi masyarakat global dengan standar produk menurut kualifikasi kebutuhan masyarakat dunia. Dunia, kemudian tidak lagi dipahami sebagai batas-batas teritorial suatu negara atau bangsa melainkan sebagai suatu kawasan besar yang tunggal, di mana logika pasar memainkan peranan utama. Aktivitas kapitalisme global yang dikuasai oleh pasar menciptakan terjadinya pertemuan budaya dunia, gaya hidup, dan tingkah laku yang ditentukan oleh pola konsumsi.
Budaya global ditandai oleh integrasi budaya lokal ke dalam suatu tatanan global. Nilai-nilai kebudayaan luar yang beragam menjadi basis dalam pembentukan sub-sub kebudayaan yang bediri sendiri dengan kebebasan ekspresi. Globalisasi yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan dalam kehidupan telah mendorong pembentukan definisi baru tentang berbagai hal dan memunculkan praktek kehidupan yang beragam.Globalisasi tak ayal telah menghadirkan perbedaan-perbedaan yang meruntuhkan totalitas, kesatuan nilai dan kepercayaan.
Globalisasi sesungguhnya telah melahirkan suatu jenis ideologi yang menjadi dasar dari pembentukan perbedaan yang bertumpu pada proses identifikasi diri. Kapitalisme karenanya telah menjadi kekuatan paling penting dewasa ini.Setelah keruntuhan komunisme dan sosialisme, kapitalisme tidak hanya mampu menata dunia menjadi satu tatanan global, tetapi juga mengubah kemapanan tatanan masyarakat yang bertumpu atas perbedaan-perbedaan dan pembentukan status. Iklim yang kondusif bagi perbedaan-perbedaan cara hidup tersebut telah melahirkan proses individualisasi meluas yang menjauhkan manusia dari konteks generalnya (Simmel, 1991). Kecenderungan ini dapat dilihat pada apa yang disinyalir oleh para ahli sebagai “privatisasi ekonomi” (Widiastono, 2004) yang menunjukkan proses individualisasi dalam struktur pengelolaan ekonomi, atau juga “privatisasi agama” (Beyer, 1991) yang menunjukkan proses individualisasi dalam penghayatan dan praktek keagamaan. Privatisasi ekonomi dan agama ini tidak hanya menegaskan pergeseran masyarakat secara meluas, tetapi juga mempengaruhi reoganisasi sosial-budaya.
Menurut Featherstone (1992), ada tiga tanda dari pergeseran masyarakat modern dewasa ini, yaitu (1) dominannya nilai simbolis kehidupan, (2) proses estetisasi yang meluas, dan (3) melemahnya sistem referensi tradisional. Sementara Abdullah (1995) melihat ada tiga proses yang menjadi tanda dari keberadan masyarakat modern, yaitu (1) proses materialisasi kehidupan yang mentransformasikan berbagai hal menjadi komoditi sehingga terjadi proses komoditisasi secara meluas, (2) tekanan sosial yang disebabkan oleh etos kerja kapitalistik yang menyababkan hidup menjadi proses pencarian nilai tambah secara material, dan (3) proses mobilitas yang menjadi fenomena terpenting di abad ke duapulh satu ini yang mempengaruhi berbagai bentuk reorganisasi sosial, ekonomi dan, politik. Ketiga proses tersebut merupakan proses yang mendasari perubahan dalam pendefinisian berbagai hal dalam kehidupan suatu masyarakat secara meluas.
Dalam sistem ekonomi kapitalisme global, eksistensi pasar telah menjadi kekuatan penting dalam membentuk gairah konsumsi masyarakat melalui proses integrasi dan ekspansi pasar. Integrasi pasar tersebut telah menghasilkan suatu penyatuan sistem kerja dan ketergantungan pada struktur pasar yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi.Sementara ekspansi pasar tidak hanya memperkenalkan barang-barang baru tetapi juga memperluas jaringan distribusi barang dan mensosialisasikan nilai-nilai ekonomi di dalam kehidupan yang mempengaruhi tata nilai dan hubungan–hubungan sosial. Demikian pula merubah kehidupan menjadi suatu proses transaksi di mana setiap orang menghitung cost dan benefit dari setiap hubungan sosial di mana ia terlibat (Abdullah, 1995). Hal ini tidak lainkarena proses segmentasi pasar yang membatasi keterlibatan individu. Aturan-aturan pasar menjadi aturan main yang harus ditaati dam kompetisi menjadi sangat dominan.
            Etos kerja kapitalistik merupakan contoh paling nyata dari ekspansi pasar di mana orang berorientasi kepada pencarian “kehidupan yang lebih baik. Migrasi masyarakat desa ke berbagai kota atau negara tidak lain karena didorong oleh keinginan untuk menikmati kehidupan yang lebih baik. Dorongan semacam ini telah mempengaruhi reorganisasi masyarakat desa dan kehidupan sosial secara umum. Keinginan untuk pergi telah menjadi obsesi hampir setiap orang sehingga proses ini telah menjadi kekuatan di dalam transformasi sosial (Appadurai, 1991). Kelompok masyarakat lain melakukan berbagai usaha untuk dapat menikmati mobilitas vertikal sebagai usaha mencapai kehidupan yang lebih baik. Dalam masyarakat yang berorientasi pada pasar, cara pandang terhadap dunia mengalami pergeseran. Tradisi yang semula diyakini sebagai sumber nilai yang mendasari sebuah tindakan bergeser menjadi alat bagi tindakan itu. Makan, misalnya, bukan lagi merupakan proses pemuatan kebutuhan biologis, tetapi lebih merupakan kebutuhan simbolis yang dikaitkan dengan jenis makanan, tempat makan, dan suasana yang dihadirkan saat makan. Tata makan dan seni di dalam praktek makan telah membentuk suatu lingkungan nilai yang menjauhkan prktek makan dari nilai esensialnya (Abdullah, 1995).Di sini, praktek makan telah menjadi “produk” yang dikonsumsi dalam rangka identifikasi diri yang disebut oleh Friedman (1991: 312) sebagai bentuk cultural strategy of self-definitions. Kecenderungan ini menjelaskan terjadinya poses komoditisasi kehidupan. Sebagai produk komoditi, berbagai aspek dalam kehidupan itu tidak lebih telah menjadi semacam barang-barang seni (benda estetis) yang diambil alih oleh pasar untuk dikelola sedemikian rupa dalam rangka tujuan komersial.Bagi Baudrillard (1983: 2), penciptaan kebudayaan semacam itu mengikuti suatu model produksi yang disebutnya simulasi, yakni “… penciptaan model-model nyata yang tanpa asal-usul atau realitas”.Melalui model simulasi ini, manusia dijebak dalam suatu ruang yang disadarinya sebagai “nyata” meskipun sesungguhnya “semu” atau khayalan belaka.Ruang realitas semu ini merupakan suatu ruang antitesis dari representasi, dekontruksi dari representasi itu sendiri. Lewat manipulasi tanda tadi, barang konsumsi yang ditawarkan oleh pasar global adalah komoditi keindahan dan eksotika yang membuat berbagai aspek dari kehidupan manusia mengalami proses pengindahan atau estetisasi. Televisi, iklan, koran dan majalah adalah agen-agen yang memoles kehidupan sekitar menjadi indah belaka (Ewen, 1976: 203; Juga Barker, 2000: 272). Hal ini, lanjut Baudrillard (1983), berarti kehidupan telah menjadi realitas halusinasi estetik. Implikasi lebih jauh dari proses pengindahan itu adalah menguatnya kecenderungan hidup sebagai proses seni. Pada kontek kecenderungan itu, esensi kehidupan menjadi tidak jelas, karena sebagai sebuah seni kehidupan itu memiliki makna keindahan sehingga hidup itu adalah citra (Simmel, 1991: 18). Pada tataran, kehidupan pun lalu mengalami proses estetisasi.
Proses komoditisasi dan estetisasi kehidupan tidak hanya mampu menyulap berbagai aspek kehidupan menjadi komodti yang estetis tetapi juga telah melestarikan stratifikasi sosial dalam masyarakat untuk menegaskan hubungan-hubungan simbolis. Dalam proses komoditisasi dan estetisasi itu, berbagai acuan nilai yang sebelumnya dijadikan basis pengetahuan dan berperilaku bergeser hanya sebagai pelengkap kehidupan. Kenyataan ini telah mengikis sifat kesakralan norma menjadi nilai yang lebih profan. Apa yang terjadi adalah pergeseran dari etis ke estetis.
 Mobilitas sosial merupakan perilaku paling menonjol di abad ini dan akan semakin penting di abad mendatang. Mobilitas sosial ini telah mempengaruhi berbagai bentuk reorganisasi sosial, ekonomi dan politik.Akibat transfomasi yang semakin membaik, hampir semua tempat dapat dijangkau dengan relatif lebih mudah.Orang terbiasa meninggalkan daerah asal, baik untuk sesaat maupun secara pemanen Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pendatang ke satu daerah dengan tingkat penghasilan bervariasi yang juga mempertegas perbedaan status sosial.Yogyakarta, misalnya, merupakan contoh paling kongkrit di mana berbagai kelompok migran bertemu dalam latar belakang budaya yang bebeda. Dari waktu ke waktu manusai tidak pernah berhenti, datang dan pergi silih berganti. Gerak manusia semacam ini merupakan tanda pekembangan yang paling penting dalam rekonstruksi sejarah kehidupan (Appadurai, 1991).Ciri mobilitas semacam ini telah menyebabkan melemahnya kebudayaan asal, karena seseorang hidup didalam lingkungan yang berbeda dengan wilayah kebudayaan yang berbeda pula. Definisi identitas tidak lagi terkait pada tempat karena di satu pihak seseorang telah keluar dari kebudayaan asalnya, sementara di pihak lain ia tidak terintegrasi dalam wilayah kebudayaan baru. Kalaupun ia kemudian menjadi bagian dari lingkungan lain, makna kesukubangsaan seseoang mengalami redefinisi dan reproduksi dalam bentuk-bentuk yang berbeda, Kecenderungan ini, oleh Appadurai diistilahkan sebagai deteritorialisasi. Sebuah konsep yang menunjukkan proses menghilangnya batas-batas kebudayaan (borderless). Proses ini menegaskan kembali proses privatisasi kehidupan, baik dalam definisi maupun praktek yang menyebabkan kontrol sosial menjadi melemah.
Pada saat batas kebudayaan menjadi tidak jelas, sistem referensi individu dalam menilai dan melakukan sesuatu menjadi berbeda.Meskipun kebudayaan global tidak secara langsung memberikan basis nilai dalam pengukuran sosial, tetapi jelas bahwa ukuran yang dipakai dalam menilai dan mempraktekkan sesuatu menjadi berbeda dan bersifat individual.Definisi kehidupan dan prakteknnya menjadi berubah karena dalam konteks yang mengalami deteritorialisasi tidak terdapat kontrol sosial.Kontekstualiassi dalam hal ini tidak terjadi karena pergeseran basis kebudayaan yang belangsung terus menerus. Kecenderungan privatisasi karenanya akan semakin meluas, dan tak ada pilihan lain bagi kebudayaan lokal kecuali harus meresponnya.
E.   Telaah Pustaka
Pada tahun 2013 BNPP telah mengajak LIPI untuk meneliti rasa keindonesiaan diwilayah perbatasan. Pusat Penelitian Politik LIPI (P2LP), Tim penelitian ini dipimpin Forman Noor dkk. Adapun lokasi penelitiannya berada di wilayah Kabupaten Malinau (Kecamatan Kayan Hulu, Desa Long Nawang), kemudian Kabupaten Nunukan (Kecamatan Krayan, Desa long Bawan), dan Kota Tarakan.
Pendekatan yang digunakan dalam menakar kebangsaan dalam kajian ini, mengacu pandangan ERNEST RENAN dengan bukunya What is Nation? (1990), yang menjelaskan bahwa nasion merupakan kesadaran untuk bersatu tanpa paksaan yang dituntun oleh obsesi mewujudkan sebuah kepentingan kolektif yang dianggap luhur. Makna kebangsaan tidak dipahami dalam wujud kesamaan budaya dan identitas, tetapi lebih kepada kesamaan melihat masa depan dan cita-cita membentuk sebuah bangsa yang jauh dari keterpaksaan setiap anggota yang ada di dalamnya.
Tim LIPI sendiri dalam kajiannya menyebutkan bahwa, nasionalisme adalah kemauan untuk rela bersatu atas dasar dialektika sejarah dan kesamaan visi serta kepentingan masa depan di mana semangat kemanusiaan menjadi landasannya. Secara lebih spesifik dalam makna keindonesiaan hal itu dikaitkan dengan nilai-nilai persamaan, keadilan, dan demokrasi yang didampingkan dengan nilai-nilai ketuhanan dan persatuan. Dalam pengertian di atas, tim dengan tegas menekankan bahwa keindonesiaan tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai persamaan, keadilan, dan demokrasi serta tetap mengikutsertakan nilai-nilai ketuhanan dan persatuan.
Ekspresi kebangsaan masih ditemukan di dua lokasi penelitian meski terasa lebih kental pada lapisan permukaan. Untuk pengetahuan mengenai lambang-lambang negara yang sifatnya lebih permanen, seperti BENDERA, LAGU KEBANGSAAN, HARI KEMERDEKAAN, PAHLAWAN NASIONAL, pengetahuan masyarakat cukup memadai. Namun lambang negara yang lebih bersifat periodik keberadaannya, seperti KEPALA NEGARA, KEPALA PEMERINTAHAN DAERAH dan lainnya malah tidak dikenal dengan cukup baik.
Tim LIPI mencermati di desa Long Bawan, bagaimana anak-anak usia sekolah mengalami kebingungan ketika ditanyakan siapa nama Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia saat ini – sebuah pengetahuan yang harusnya lazim diketahui oleh bangsa ini. Padahal lambang negara berupa bendera merah putih juga banyak ditemukan di setiap bangunan.Tidak hanya di bangunan-bangunan milik pemerintah, melainkan juga pada milik adat dan milik perorangan warga.Merah putih selalu mendapatkan tempat khusus dan terhormat dalam keseharian masyarakat Long Nawang dan Long Bawan.Tidak hanya dalam acara-acara yang berhubungan dengan pemerintahan, namun acara adat sekalipun mereka selalu menempatkan merah putih sebagai bagian dalam semua bentuk kegiatannya.
Keberadaan desa mereka yang merupakan bagian rumah besar Indonesia juga amat disadari oleh masyarakatnya.Indonesia adalah tempat mereka bernaung hingga akhir hayatnya, dalam hal ini terbersit makna tidak adanya keinginan untuk “pindah rumah” di dalam hati warga perbatasan.Hampir semua mengetahui bahwa mereka adalah bagian dari Indonesia dan Pulau Kalimantan. Namun, sayangnya, untuk anak-anak usia sekolah sekalipun pengetahuan keberadaan ini tidak diiringi pengetahuan yang baik dalam pemahaman geografisnya. Hal ini terbukti ketika mereka diminta menunjukkan pulau Kalimantan dalam peta Indonesia, mereka justru kebingungan.
Hal lain yang memperlihatkan bahwa nuansa keindonesiaan itu masih ada adalah semangat yang tinggi dari masyarakat untuk merayakan hari kemerdekaan RI, 17 Agustus, setiap tahunnya. Kemeriahan perayaannya melebihi kemeriahan perayaan hari besar agama mayoritas yang mereka anut, Kristen. Kondisi ini berlangsung sama antara desa Long Nawang dan Long Bawan.
Keinginan untuk menjadikan wilayah mereka menjadi terdengar dan diketahui keberadaannya oleh wilayah lain di Indonesia begitu menggebu, dengan sebuah rekor pembuatan makanan tradisional terbanyak dalam perayaan HUT RI. Kehendak untuk memecahkan rekor ini, secara tidak langsung menunjukkan adanya usaha masyarakat perbatasan untuk menunjukkan eksistensi nya sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
Tim P2LP LIPI, sangat yakin Fenomena yang positif untuk ekspresi dan persepsi kebangsaan tersebut, dapat menjadi sebuah harapan untuk keberlangsungan keindonesiaan di perbatasan. Namun, hal ini hanya terlihat baik di permukaan. Dua frasa berbeda namun dalam pengertian yang sama digunakan dalam menggambarkan rasa keindonesiaan yang tampak baik dipermukaan ini, yaitu, “BANGUN KEINDONESIAAN YANG RINGKIH” dan “SEBUAH EKSISTENSI SEMU KEINDONESIAAN DI KRAYAN”.

F.   Beberapa Konsep yang Dikembangkan
a.    Pelayanan Agama:
Kementerian Agama RI merupakan salah satu institusi yang tidak diotonomkan karena alasan politik yang berkaiatan dengan persoalan nasionalisme dan bingkai NKRI. Agama merupakan ruang yang sangat potensial menimbulkan disintegrasi bangsa, sehingga Pemerintah Pusat diharapkan masih memiliki peran penting.Oleh sebab itu, pelayanan agama memiliki pemaknaan yang lebih mengacu pada pelayanan-pelayanan yang diberikan Kementerian Agama dan dibutuhkan oleh masyarakat sebagai user.
Penelitian ini tidak membagi pelayanan yang menjadi domain pusat atau daerah, karena hal terpenting yang akan disasar dalam riset adalah bentuk-bentuk pelayanan apa saja yang diberikan dan kemdian masyarakat merasa membutuhkan. Pelayanan keagamaan akan dikaji dalam 9 bagian, yakni tentang KUA dan perkawinan, kepenyuluhan, pelayanan haji, pelayanan untuk agama, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghuchu, dan kepercayaan local.
b.    Daerah Perbatasan
Ada beberapa konsep tentang daerah perbatasan.Pada pasal 1 angka 6 UU No 43 tahun 2008 Tentang Wilayah Negara menjelaskan bahwa kawasan perbatasan adalah bagian dari Wilayah Negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam hal Batas Wilayah Negara di darat, Kawasan Perbatasan berada di kecamatan. Termasuk istilah yang ada di Perpres 78 tahun 2005 tentang pengelolaan pulau-pulau kecil terluar, 92 pulau terluar yang dimiliki Indonesia tersebut digunakan sebagai titik dasar dalam menetapkan garis batas wilayah NKRI. Ini artinya, titik persoalannya adalah batas-batas fisik antara negara Indonesia dengan Negara tetangga.
Tetapi letak riset ini tidak sedang menganalisis batas-batas fisik antarnegara, tetapi bagaimana batas itu sendiri telah melampaui persoalan-persoalan fisik.Kehidupan masyarakat daerah perbatasan memiliki system dan pemaknaan yang silang kebudayaan, sehingga ruang-ruang social, budaya, ekonomi, dan agama menjadi bagian yang saling bersentuhan antarnegara.Kedua negara dalam batas-batas fisik tersebut, seolah-olah hadir secara bersamaan.Masyarakat menggunakan dua kebudayaan secara bersama-sama.Tidak adanya kekuatan dominan yang berhak mengatur pergaulan antarbudaya dan antarnegara di daerah perbatasan, dalam hal ini kekuatan negara yang represif, merupakan peluang tersendiri jika disikapi secara tepat. Meminjam istilah François Lyotard (2004), masyarakat di daerah perbatasan relatif terbebas dari bercokolnya ”narasi besar” yang berwatak totaliter.
Pada ranah praktis, tidak adanya kekuatan dominan juga memberi peluang bagi terjadinya persilangan kategori-kategori identitas ketika setiap pihak ditemukan dalam kepentingan yang sama. Dalam kondisi seperti ini, in-group favoritism dan out-group derogationakan berkurang.Identitas sosial menjadi lebih mudah ditembus sehingga memungkinkan terciptanya identitas hybrid. Identitas hybrid merupakan identitas baru yang terbentuk dari persilangan kategori-kategori sosial yang didasari atas kesadaran untuk mencari simpul kerja sama yang mutual dalam ruang publik. Ketika individu menyandang banyak identitas, berarti dia memiliki dimensi sosial-psikologis yang banyak
Dalam kacamata kebudayaan, identitas hybrid tidak menjadi persoalan, karena kehidupan global memang mengandung konsekuensi hilangnya batas-batas kebudayaan antarnegara. Namun, dalam konteks pelayanan public dan birokrasi, persoalan ini menjadi sangat penting, terlebih jika dikaitkan dengan nasionalisme keindonesiaan yang sedang berubah. Oleh sebab itu, dalam riset ini daerah perbatasan secara fisik tidak hanya berbasis kecamatan, tetapi daerah perbatasan akan diperluas hingga tingkat kabupaten/kota. Bahkan secara sosiologis dan antropologis, wilayah ini bisa lebih melebar, dengan melihat implikasi-implikasi social, budaya, dan agama lebih luas.
c.    Physycal Presence
Bagaimanapun juga kehadiran fisik sebuah Negara di daerah perbatasan menjadi bagian sangat penting dari representasi politik dan kedaulatan bangsa.Physical presence tidak hanya kehadiran gedung-gedung dan symbol-simbol fisik, tetapi juga perangkat Negara, seperti pegawai negeri sipil atau militer, serta symbol-simbol kebudayaan lainnya.Kehadiran ini tidak hanya menjadi representasi Negara, tetapi juga menjadi bukti ada komitmen pemerintah untuk membangun dan mengembangkan daerah perbatasan.


G. Metodologi
1.      Lokasi Penelitian
Penelitian mengambil lokasi di 4 daerah perbatasan, yakni Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara; Kabupaten Karimun, Provinsi Kepri; Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat; dan Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur.
2.      Tipe Penelitian
Tipe penelitian adalah kualitatif, dengan observasi, wawancara mendalam dan FGD sebagai alat utama menggali data.
3.      Sumber Informasi, Aspek, dan Metode Pengumpulan Data
No
Jenis
Sumber informasi
Teknik
1
Key informan
·         Tokoh-tokoh agama
·         Pejabat Kankemenag
·        wawancara mendalam
·        FGD
2
Informan
·         Tokoh masyarakat
·         Masyarakat sebagai user Kankemenag
·         Staf dan pejabat Kankemenag
·         Wawancara mendalam
·         Observasi partisipasi

Aspek
Data
Tek. Pengump. Data
Potret Pelayanan Keagamaan
KUA, perkawinan
Survey Indeks Kepuasan Masyarakat Tahun 2010 (Biro Organisasi dan Tatalaksana) banyak di tekankan pada 14 unsur pelayanan yang terdiri dari: (KepMenpan Indeks Pelayanan Publik)
1.Prosedur Pelayanan;
2.Persyaratan Pelayanan;
3.Kejelasan Petugas Pelayanan;
4.Kedisiplinan Petugas Pelayanan;
5.Tanggungjawab Petugas Pelayanan;
6.Kemampuan Petugas Pelayanan;
7.Kecepatan Pelayanan;
8.Keadilan Mendapatkan Pelayanan;
9.Kesopanan dan Keramahan Petugas;
10.Kewajaran Biaya Pelayanan;
11.Kepastian Biaya Pelayanan;
12.Kepastian Jadwal Pelayanan;
13.Kenyamanan Lingkungan dan
14.Keamanan Lingkungan.
Dokumen
Observasi
Wawancara
FGD

Catatan: Untuk Kristen biasanya denominasi tertentu tidak terlayani di Kankemenag karena sentimen2 tertentu pula. Hati2 dengan data ini.

Masing2 unsur pelayanan dijelaskan dalam turunan ttt.

Kepenyuluhan (Pend agama di Masy dan Rumah Ibadah)

Haji
Kristen
Katolik
Hundu
Budha
Konghucu
Agama Lokal

Hak-hak menjalankan Ibadah agama2
Borderless pelayanan dan kebudayaan local dan negara tetangga
Sosial, ekonomi, dan kebudayaan yang dirasakan lebih dari negara tetangga
Sosiografis tentang respons masyarakat tentang kondisi Negara tetangga
Observasi
Wawancara
Kondisi pelayanan yang dirasakan di Indonesia
Sosiografis tentang respons masyarakat tentang kondisi Negara tetangga
Observasi
Wawancara
Identitas hybrid dalam pelayanan keagamaan.
Kondisi identitas hybrid merupakan identitas baru yang terbentuk dari persilangan kategori-kategori sosial yang didasari atas kesadaran untuk mencari simpul kerja sama yang mutual dalam ruang publik.
Observasi
Wawancara
Physycal Presence
Fasilitas fisik dan gedung-gedung
Foto dan analisis
Wawancara
Dokumen
Kehadiran aparatur
Peran yang dilakukan
Wawancara
Simbol-simbol keagamaan
Apa yang muncul dalam masyarakat

Wawancara
Dokumen
Kebijakan spesifik
Kebijakan yang berbeda dan tidak mainstream
Wawancara
Dokumen






DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan. (1995) Privatisasi Agama: Globalisasi atau Melemahnya Referens Budaya Lokal?. Makalah seminar, Balai Kajian sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 9 November 1995.
Appadurai, Arjun. (1991) “Introduction: Commodities and the Politics of Value” dalam Arjun Appadurai (ed.), The Social Life Things. Cambridge: Cambridge University Press.
Baker, Chris. (2000), Cultural Studies: Theory and Practice. London: sage Publication.
Baudrillard, Jean. (1983), Simulation. New York: Semiotext(e).
Beyer, Peter. (1991) “Privatization dan Public Inflence of Religion in Global Society” dalam Mike Featherstone (ed.), Global Culture: Nationalism, Globalization and Modernity. London: sage Publication.
Ewen, Stuart. (1990), “Marketing Dreams: The Political Element of Style”, dalam Alan Tomlison (ed.,), Consumption Identity and Style: Marketing Meanings and the Packaging of Pleasure. London NewYork: Routledge.
Featherstone, Mike. (1991), Global Culture: Nationalism, Globalization, and Modernity. London: Sage Publications.
Lyotard, Jean-François. (2004) Posmodernisme: Krisis dan Masa Depan Pengetahuan, Yogyakarta: Teraju
Widiastono, Tonny D., (2004), Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta: Buku Kompas.




[1]Kemenag Nunukan Minta Madrasah Negeri di Daerah Perbatasan”, Tribunnews.com, diunduh Minggu, 5 Januari 2014 15:45 WIB
[2]Pemerintah Kembangkan Pesantren Perbatasan”, Republika On Line, http://www.republika.co.id diunduh, 24 Desember 2013, 15:02 WIB
[3]Menteri Agama Bakal Hadiri Peletakan Batu Pertama”, Hakluankepri.com, http://www.haluankepri.comSabtu, 14 December 2013 00:00
[4]"Kami punya slogan di sini, garuda di dadaku, Malaysia di perutku," pungkas Hermansyah, sindonews.com, 6 Januari 2014, diunduh 8 Januari 2014 dalam “Elpiji Malaysia Laris Manis di Tarakan”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar